Mangan Sederhana: Soto Bathok Mbah Katro (D.I. Yogyakarta)


            Soto Bathok ini terletak di dekat Candi Sambisari atau biasa dikenal dengan Candi Mendem. Warung soto ini berada di belakang Candi Sambisari. Saya pergi ke warung soto ini pertama kali saat saya mengikuti mata kuliah Analisis Film (Iya, emang nggak nyambung gitu) dan dosen yang mengajar kelas itu mengajak semua murid untuk pergi mengunjungi Candi Sambisari.

            Kami sampai di warung soto pukul 7.30 pagi. Langit masih belum terlalu terik, cocok untuk saya yang tidak bersahabat dengan matahari (mirip vampire), namun pembeli sudah banyak yang mengantri. 
Tak ada kesan mewah di warung soto tersebut, namun imej sederhana yang ditawarkan dengan hamparan sawah yang membentang seakan mengelilingi kami menjadi sebuah titik ‘cuci mata’ bagi pendatang dari kota besar seperti saya yang jarang melihat hijaunya sawah :')
Tempatnya sangat terbuka. Kami memesan di depan warung, lalu masuk ke dalam, mencari tempat duduk setelah mendapatkan nomor pesanan.

            Menunya sangat murah. Sebagai anak rantau dari kota yang biaya hidupnya cukup tinggi, saya lumayan kaget. Seporsi soto hanya 5.000 rupiah, kerupuk 500 rupiah perbuah, dan macam-macam sate dengan harga yang juga murah ヽ(゚Д゚)ノ
Sejenak saya curiga ( ಠ_ಠ)
Sempat terlintas di pikiran saya “Apa mereka bisa untung kalau harganya semurah ini?” lalu, “Apa bahan yang digunakan benar-benar dalam kondisi yang bagus?”

            Saat pesanan saya datang, wangi sotonya seakan mengingatkan jika saya lapar dan butuh sarapan. Mangkoknya menggunakan batok kelapa (seperti namanya). Seporsinya memang tak terlalu banyak, tapi pas untuk mengisi perut sebagai sarapan. Lagipula saya tidak mau sakit perut lantaran terlalu banyak makan di pagi hari. 
Saya juga memesan beberapa sate yang ada di menu, dan karena adana faktor harga terjangkau, di sinilah saya tak dapat mengontrol diri dan kalap memesan 10 tusuk sate beraneka ragam. Saya berpikir, “Jauh untuk kembali kesini, jadi mumpung disini, sekalian saja mencoba banyak”. ( 9*^*)9

            Semua teman saya dan dosen pun memandangi saya heran, “Enggak kebanyakan?” mereka bertanya dan saya hanya menggidikkan bahu, “Selama enak, pasti habis kok” saya menjawab yakin. ¯\_(ツ)_/¯
Karena saya tidak dapat makan makanan panas, saya memutuskan untuk menunggu hingga pesanan sate saya datang, baru saya akan makan semuanya.

            Tak lama kemudian, sate datang, dan saya pun langsung mencicipi kuahnya. Rasanya segar, bahkan sebelum ditambahkan apapun. Tidak terlalu berminyak, jadi sangat segar saat ditambah dengan jeruk nipis. Menurut saya rasa makanan-makanannya diluar ekspektasi, mengingat harganya yang murah, rasanya benar-benar enak (っ˘ڡ˘ς)

            Dengan pesanan sebanyak itu, saya merogoh kocek tak sampai 30.000 rupiah. Saya menahan kaget saat membayar, dalam hati membandingkan dengan harga makanan di kota asal saya ಥ_ಥ
Namun saya kembali mengingatkan diri sendiri, “Ini Jogja, banyak hal yang istimewa, termasuk biaya hidupnya pun istimewa” (人’∀’)

Comments

Popular posts from this blog

Rumah Pohon, Kenep: Terpencil, DTW yang Cocok Untuk 'Self-Healing'.